Senin, 21 April 2014

ANALISIS HUKUM
KASUS PENGGUSURAN TERHADAP WARGA DI JALAN LOSARI METRO MAKASSAR
DEPAN RUMAH SAKIT SILOAM

  1. PENDAHULUAN
Pada prinsipnya, tanah merupakan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui (unrenwable). Akan tetapi seiring dengan pertumbuhan penduduk yang sedemikian pesat dan dibarengi dengan pemanfaatan lahan untuk kepentingan industri, perumahan dan lain sebagainya. Maka, tanah yang diperuntukkan untuk kesejahteraan rakyat semakin mengalami penyempitan, nilai tanah perlahan merangkak naik sementara Masyarakat yang di bawah garis kemiskinan semakin susah mengakses sumber kehidupan mereka yang mengakibatkan, rakyat yang dahulunya merupakan tuan atas tanahnya sendiri menjadi budak di atas tanahnya sendiri. Sehingga, hal ini memaksa mereka untuk berpindah tempat mencari tanah – tanah lainnya yang belum bertuan.

Bagi para penduduk di daerah pesisir, Tanah merupakan kebutuhan vital hidup manusia. Di atas tanah manusia dapat beraktifitas untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Di atas tanahlah manusia membangun rumah untuk dapat berlindung dari segala macam bahaya serangan cuaca dan gejala alam lainnya serta tempat untuk berinteraksi dengan anak dan keturunannya. Sederhananya, tanah merupakan sumber kehidupan manusia serta mempertahankan hidup dan melanjutkan generasi. Jadi dapat dikatakan kalo hidup dan matinya ditentukan oleh tanah yang dimilikinya. Secara kultural, tanah memiliki hubungan batin yang tidak bisa terpisahkan dengan manusianya. Khusus dalam adat masyarakat bugis-makassar, tanah merupakan hak dasar yang harus dipertahankan mati – matian karena, disitulah kita bisa makan, minum dan berlindung dari marabahaya. Hal inilah yang menjadi dasar philosofis sehingga, hak atas tanah merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang menjadi tanggung jawab pemerintah selaku pemegang mandat kekuasaan Negara.

Bagi penduduk di daerah pesisir, fenomena alam yang biasa terjadi dengan munculnya daratan – daratan baru sebagai hasil dari proses sedimentasi secara terus menerus akibat erosi dari daerah dataran tinggi yang terdorong ombak ke tepi pantai secara terus menerus sehingga, timbul membentuk daratan baru. Kemunculan daratan baru ini merupakan berkah bagi mereka yang di pesisir, namun disisi lain juga merupakan petaka baru bagi mereka karena, atas dalih sesat asas domein verklaring (tanah – tanah yang tidak bisa dibuktikan, akan diambil alih oleh Negara)  maka, Negara dengan bebas dan serakah  mengklaim penguasaan langsung atas tanah tersebut. Apalagi tanah yang timbul tersebut berada pada lokasi strategis untuk dijadikan lahan privatisasi oleh Negara. Tindakan Negara seperti ini dapat dikatakan sebagai tindakan yang tidak menghargai bahkan memperkosa hak – hak rakyat atas tanah yang sudah turun temurun melekat, akan tetapi karena tidak bisa dibuktikan eigendomnya, maka dianggap domein atau milik negara.

1.1.Sekilas tentang tanah timbul

Tanah timbul yang didalam bahasa Inggris disebut deltaber atau channelbar,di dalam bahasa Belanda disebut dengan istilah aanslibbing, sedangkan di dalam bahasa Indonesia biasanya disebut dengan tanah tumbuh atau tanah timbul

Mengenai keberadaan tanah timbul di wilayah pesisir pantai Secara teori menurut Sosdarsono dan Tominaga (1985:27) terjadinya Tanah Timbul dikarenakan sungai mengalirkan air bersama-sama sedimen yang terdapat aliran air tersebut. Sehingga, tanah Tumbuh yang terbentuk di tepi pantai karena, lumpur-lumpur yang dibawah arus sungai menuju laut dihempaskan kembali ke pantai oleh ombak air laut. Kemudian lumpur tersebut mengendap di pantai.


Dalam hal penguasaan dan pemilikan tanah timbul  dibutuhkan penguasaan fisik yang kongkrit dan adanya intensitas de facto penggunaan atau penggarapan manusia atas tanah tersebut. Semakin intens penggarapan, maka semakin utuh pula hubungan antara manusia dengan tanahnya, sehingga semakin kukuh pula penguasaan atas tanah tersebut.

Namun, Fenomena konflik antara warga dengan pemerintah daerah yang notabene sebagai kaki tangan Negara  atas tanah timbul, bukan lagi hal yang baru. Khususnya bagi penduduk yang tinggal di daerah pesisir. Namun, Pemicu konflik ini bukan berarti tidak adanya kepastian hukum, akan tetapi penyelenggara Negaralah yang tidak punya itikad baik dalam mengawal pembaharuan di sector agraria di bawah payung UUPA. Penyelanggara Negara terkesan tidak mau ambil bagian dalam agenda tersebut dengan kata lain tidak mau pusing dengan urusan rakyat kecil. Karena, kuatnya pengaruh modal dalam proses penyelanggaraan pemerintahan.

Salah satu contoh kasus yang baru saja terjadi adalah perampasan paksa yang menimpa warga di jalan losari metro Makassar depan rumah sakit siloam, kelurahan maccini sombala, kecamatan tamalate, kota Makassar. Tanah seluas ± 10 ha yang di dalamnya dihuni secara aktif oleh ± 43 kepala keluarga secara turun temurun selam 37 tahun, diambil alih oleh pemerintah provinsi melalui upaya paksa, teror dan intimadasi sehingga, warga tidak hanya kehilangan tanah, akan tetapi juga kehilangan rumah dan pekerjaan dan parahnya mereka ditelantarkan oleh pemerintah provinsi di sekitar gedung  Celebes convention center (CCC) yang tidak jauh dari lokasi tanah mereka, sebagian warga ada yang mengungsi ke rumah keluarga mereka.





1.2.Sejarah penguasaan lahan oleh warga

Pada awalnya, warga telah tinggal menetap di Jl. losari metro Makassar depan rumah sakit siloam, kel. Maccini Sombala, Kec. Tamalate, Kota Makassar. Namun, luas kawasan tersebut belum seluas yang ada saat ini. Dg. Bollo (perempuan) merupakan salah satu warga yang sudah tinggal dalam kawasan ini sejak tahun tahun 1977. Selang beberapa tahun, muncul tanah timbul di sebelah utara kawasan delta mercusuar akibat endapan tanah. Tanah timbul ini kemudian semakin luas dan akhirnya bersambung dengan kawasan di Tanjung Delta Mercusuar.

Di awal Tahun 1980, Dg. Bollo memutuskan untuk pindah di kawasan tanah timbul (dibagian utara) bersama dengan dua anaknya. Dg. Bollo membangun rumah dan tinggal menetap di lokasi tersebut. Pekerjaan sehari-harinya adalah sebagai nelayan pencari ikan, kerang-kerang, tiram, dll. Dengan demikian, dg. Bollo bersama dua ankanya merupakan keluarga yang pertama tinggal di kawasan tanah timbul tersebut (hal ini telah diakui oleh seluruh warga di kawasan tersebut). Selang beberapa tahun, warga lainnya juga sudah mulai masuk dan tinggal di kawasan tersebut, namun warga tersebut masih merupakan keluarga dekat dari Dg. Bollo.

Tanggal 9 Januari Tahun 1989, Dg. Bollo membuat pernyataan penguasaan tanah negara yang terletak di Tanjung Delta Mercusuar RT.11. RW.06, kel. Maccini Sombala, Kec. Tamalate dengan luas sekitar 10 Ha.  Bahwa tanah tersebut digarap sejak tahun 1979 dan tetap diamnfaatkan dan dipelihara dengan baik. Surat pernyataan ini diketahui oleh Lurah Maccini Sombala (H. Badollahi, Sm. Hk.) dengan No.reg.136/596.6/KMS-1989. Adapun batas-batas tanah tersebut (sesuai isi surat pernyataan) adalah sebagai berikut:
Sebelah utara              : laut
Sebelah timur             : laut   
Sebelah selatan           : tanah garapan Sampara Bani
Sebelah barat              : laut
Sepanjang tahun 1990 hingga tahun 2000, warga yang masuk dan tinggal dilokasi tersebut terus mengalami pertambahan dengan total 43 Kepala Keluarga (KK). Dari 43 KK, hanya 9 KK yang memiliki Kartu Keluarga Kota Makassar, sedangkan yang lainnya memiliki Kartu Keluarga dari Kab. Maros. Hal ini disebabkan oleh migrasi nelayan dari Kab. Maros yang mencari penghidupan sebagai nelayan di Kota Makassar. Sehingga, sejak saat itu, mayoritas warga yang tinggal di kawasan ini hidup dan tinggal dengan mata pencaharian sebagai nelayan ikan, kerang-kerang, tiram, dll.

Tahun 2011, berdasarkan Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan No: 2026/IV/tahun 2011 tentang penetapan kawasan Centre Point of Indonesia, kawasan tanjung delta mercusuar diklaim sebagai bagian dari kawasan CoI. Secara administratif, kawasan tersebut merupakan bagian dari wilayah admistratif kota Makassar. Namun, kawasan tersebut menjadi salah satu bagian dalam kawasan perencanaan Center Point of Indonesia (CPI) sebagai kawasan bisnis dan pembangunan wisma negara. Proses pengerjaan proyek pembangunan tersebut merupakan tanggung jawab PT. Yasmin Bumi Asri yang telah disepakati melalui MoU dengan Pemprov Sulsel berdasarkan Perjanjian Kerjasama No: 252/VII/Pemprov/2013 dan No: 231/YBA/VII/2013 antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan  dengan PT. Yasmin Bumi Asri tentang reklamasi kawasan Centre Point of Indonesia di Makassar.

  1. POSISI KASUS

v  Bahwa penguasaan dan pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh warga dimulai sejak tahun 1979 oleh Dg. Bollo dan keluarganya. Tanggal 9 Januari Tahun 1989, Dg. Bollo membuat pernyataan penguasaan tanah negara yang terletak di Tanjung Delta Mercusuar RT.11. RW.06, kel. Maccini Sombala, Kec. Tamalate dengan luas sekitar 10 Ha.  Bahwa tanah tersebut digarap sejak tahun 1979 dan tetap diamnfaatkan dan dipelihara dengan baik. Surat pernyataan ini diketahui oleh Lurah Maccini Sombala (H. Badollahi, Sm. Hk.) dengan No.reg.136/596.6/KMS-1989 (surat asli telah hilang dan dilaporkan ke Polrestabes Makassar dan telah memiliki Surat Keterangan Tanda Laporan Kehilangan No:SKTLK/4520/B/IV/2013/POLDA SULSEL/RESTABES MKS). Surat pernyataan tersebut diperkuat dengan Surat Keterangan tertanggal 19 September 2012 dari RT RW yang didisposisi oleh Walikota Makassar kepada Camat Tamalate.
(Surat pernyataan dan keterangan terlampir)
v  Bahwa untuk memastikan segala bentuk legalitas hak atas tanah dan tindakan lainnya atas penguasaan lahan, Dg. Bollo telah memberikan kuasa kepada pihak lain melalui perikatan notaris ................................................................................................................
v  Tahun 2011, berdasarkan Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan No: 2026/IV/tahun 2011 tentang penetapan kawasan Centre Point of Indonesia, kawasan tanjung delta mercusuar diklaim sebagai bagian dari kawasan COI. Proses pengerjaan proyek pembangunan tersebut merupakan tanggung jawab PT. Yasmin Bumi Asri yang telah disepakati melalui MoU dengan Pemprov Sulsel berdasarkan Perjanjian Kerjasama No: 252/VII/Pemprov/2013 dan No: 231/YBA/VII/2013 antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan  dengan PT. Yasmin Bumi Asri tentang reklamasi kawasan Centre Point of Indonesia di Makassar.
v  Bahwa pada bulan Januari 2014, warga yang tinggal di tanjung delta mercusuar mendapat surat kaleng (tidak jelas asalnya). Surat ini hanya berisikan pemberitahuan bahwa tanah yang ditempati warga berada dalam penguasaan dan kepemilikan pihak lain yang menjalankan proyek di lokasi tersebut (PT. Yasmin Bumi Asri). Surat ini tidak dihiraukan warga karena dianggap sebagai intimidasi semata dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.
v  Bahwa pada tanggal 26 Januari 2014, warga mendapat surat peringatan dari Satuan Polisi Pamong Praja Pemprov Sulsel No: 644/23/I/Sat.Pol.PP. Surat ini dianggap kadaluarsa/terlambat oleh warga karena surat tersebut tertanggal 23 Januari 2014  dan warga baru menerimanya tanggal 26 Januari 2014. Surat ini pada intinya memberikan teguran kepada masyarakat/oknum yang memiliki bangunan tanpa izin di dalam lokasi/kawasan Centre poin of Indonesia segera dibongkar. Surat ini juga berisikan perintah yakni:
-              Memerintahkan kepada Satuan Polisi Pamong Praja untuk memberikan Surat Peringatan kepada masyarakat/oknum yang bermukim mendirikan banguna tanpa izin segera meninggalkan lokasi dan membongkar bangunannya yang berada dalam dalam kawasan COI.
-              Apabila dalam waktu 15 hari yang telah ditentukan sesuai Standar Operasional Prosedur aturan Satuan Polisi Pamong Praja yang berlaku, maka akan segera dilakukan teguran pertama.
-              Bagi pihak yang keberatan terhadap surat pernyataan ini dipersilahkan ke Satuan Polisi Pamong Praja Prov. Sulsel jl. Urip Sumoharjo no.269 Makassar bidang Penegakan Perundang-undangan daerah (PPNS) untuk menyampaikan keberatannya.
(Surat peringatan terlampir) 
v  Bahwa pada tanggal 5 februari 2014, Dg. Bollo datang ke kantor Satpol PP Prov. Sulsel menyampaikan hak kepemilikan garapan yang diketahui oleh Lurah Maccini Sombala serta keterangan laporan kehilangan  dari kepolisian Kapolrestabes Makassar, Foto Copy KK, KTP, Surat pernyataan tanah negara/garapan dan surat pernyataan pengawasan fisik bidang tanah (sporadik) dan surat keterangan dari RT RW yang didisposisi oleh Walikota Makassar kepada Camat Tamalate Makassar.
(Berdasarkan keterangan permasalahn dalam Surat Teguran II)
v  Bahwa pada tanggal 10 Februari 2014, warga mendapatkan Surat teguran II dengan No.: 800/46/II/Sat.Pol.PP dari Satuan Polisi Pamong Praja Pemprov Sulsel. Surat ini berisikan teguran kepada Dg. Bollo karena mendirikan rumah panggung permanen, pagar permanen tapal batas dalam kawasan pembangunan COI, melakukan reklamasi pantai dan penimbunan diduga tidak memiliki izin surat kepemilikan, serta membuat empang dalam kawasan COI. Melalui surat ini, yang bersangkutan diminta untuk segera melakukan koordinasi dengan Satpol PP Prov. Sulsel ataupun bidang penegakan perundang-undangan atau PPNS terhitung 3 hari setelah diterimanya surat teguran tersebut.
(Surat Teguran II terlampir) 

v  Bahwa warga mendapat undangan pertemuan (tanggal surat: 12 Februari 2014) dengan No.: 005/769/Pol.PP untuk membahas perihal pelaksanaan penertiban lokasi di dalam kawasan COI (pembanguan Istana Kepresidenan) di Kota Makassar jalan losari metro tanjung bunga yang akan dilaksanakan pada tanggal 19 Febriari 2014. Maka diminta kepada saudara yang berdomisili atau kuasa hukum yang membangun, memagar, memasang papan pemilik di dalam lokasi tersebut untuk menghadiri pertemuan bersama/panitia pelaksana pembangunan kawasan COI yang dilakasanakan pada hari Senin, 17 Februari 2014, pukul 10.00 Wita di Ruang Rapat Satpol PP Prov. Sulsel. Jumlah orang yang diundang sebanyak 21 orang termasuk Dg. Bollo (berdasarkan lampiran undangan).
(undangan dan lampiran undangan terlampir)
v  Bahwa Dg. Bollo bersama warga lainnya tidak mengetahui hasil pertemuan pada tanggal 17 Februari 2014. Karena pertemuan tersebut hanya dihadiri oleh kuasa hukum Dg. Bollo yakni Ansar Makkuasa dan hasil pertemuan tersebut tidak pernah disampaikan oleh kuasa hukum yang bersangkutan. Selang beberapa hari pasca pertemuan, Ansar Makkuasa mengundurkan diri sebagai kuasa hukum Dg. Bollo tanpa alasan yang jelas.  
v  Bahwa pada tanggal 10 Maret 2014, Pukul 08.00 Wita, aparat Satpol PP Pemprov Sulsel bersama Aparat kepolisian (satuan Brimob) dan Aparat TNI (Koramil) datang ke Lokasi dan membongkar seluruh rumah dan bangunan milik warga dengan menggunakan alat berat. Beberapa warga juga meilhat oknum yang mengaku preman melakukan intimidasi terhadap  warga. Warga yang berada di lokasi tidak sanggup mengahalangi proses pembongkaran rumah tersebut. Bahkan salah seorang warga (perempuan) sempat mendapat ancaman dari salah seorang oknum TNI. Warga tersebut diancam, kepalanya akan dipukul menggunakan batu jika tetap memaksa masuk ke lokasi dan menghalangi proses pembongkaran. Setelah proses pembongkaran rumah, seluruh warga hanya diarahkan untuk membawa barang-barang mereka yang tersisi dan tinggal sementara di plataran salah satu gedung CCC dan selanjutnya akan dipindahkan ke wisma Mattiro Baji’ (Daya’). Warga terpaksa bertahan dan tinggal di plataran gedung meski dengan peralatan seadanya. Salah seorang warga yang digusur merupakan orang tua yang sudah cacat/lumpuh dan terpaksa harus ikut tinggal diplataran tersebut. Sebagian lagi adalah perempuan dan anak-anak juga terpaksa harus memilih menetap ditempat tersebut.
v  Bahwa dari surat peringatan dan teguran dari Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Sulsel diketahui pertimbangan dan dasar tindakan pembongkaran rumah dan bangunan milik warga, yakni:
§  Pertimbangan:
1.   Surat ijin lokasi reklamasi kawasan Centre Point of Indonesia No: 644/6272/Tarkim dan Izin pelaksanaan reklamasi No.: 644/6273/Tarkim.
2.   Perjanjian Kerjasama No: 252/VII/Pemprov/2013 dan No: 231/YBA/VII/2013 antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan  dengan PT. Yasmin Bumi Asri tentang reklamasi kawasan Centre Point of Indonesia di Makassar.
3.   Rapat Koordinasi tanggal 16 Januari 2014 di ruang kerja Bapak Sekda Prov. Sulsel tentang rencana penertiban bangunan tanpa Izin dalam lokasi COI
§  Dasar:
1.   UU. No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
2.   UU No.26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang
3.   PP No.15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang
4.   Peraturan Presiden No.55 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan perkotaan Makassar, Maros, Sungguminasa, dan Takalar.
5.   Peraturan Presiden No.122 tahun 2012 tentang reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
6.   PP No.6 tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja.
7.   PP No.54 tahun 2011 Tentang Standar Operasional Prosedur Satuan Polisi Pamong Praja.
8.   Perda Prov. Sulawesi Selatan No.9 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan.
9.   Perda No.2 tahun 2013 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil.
10.              Peraturan Gubernur No. 55 tahun 2013 tentang Pedoman Pelaksanaan Perda  dan Pergub Sulawesi Selatan.
11.              Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan No: 2026/IV/tahun 2011 tentang penetapan kawasan Centre Point of Indonesia,  
v  Bahwa dari peristiwa yang terjadi pada tanggal 10 Maret 2014 telah menimbulkan dampak dan kerugian yang besar bagi masyarakat. Sekitar 43 KK telah kehilangan rumah tempat tinggal dan bangunan lainnya karena semua banguan tersebut telah dirobohkan. Ratusan warga sampai saat ini menjadi hidup terlantar tanpa tempat tinggal dan pekerjaan yang layak untuk penghidupannya. Ironisnya, sebagian besar warga merupakan perempuan dan anak-anak dan saat ini hanya tinggal sementara di plataran Gedung CCC dengan perlengakpan seadanya. Selain itu, muncul sengketa hak atas pengeloaan kawasan antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dengan  warga yang telah menguasai dan mengelola lokasi tersebut selama puluhan. Dan sampai saat ini, pemerintah belum memberikan perhatian yang serius bagi warga yang menjadi korban penggusuran.

  1. PARA PIHAK YANG TERKAIT

a.      Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan
b.       PT. Yasmin Bumi Asri berdasarkan kesepakatan kerjasama pembanguan COI Makassar.
c.       Satuan Polisi Pamong Praja Propinsi Sulawesi Selatan
d.       Aparat Kepolisian (satuan Brimob), dan
e.       aparat TNI (Koramil)

  1. INSTRUMEN HUKUM TERKAIT

-          UUD 1945 ;
-          UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria;
-          Peraturan pemerintah No. 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah
-          UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia
-          PP No. 16 TAHUN 2004 tentang Penatagunaan Tanah
-          UU No. 11 tahun 2005 tentang ratifikasi covenan hak EKOSOB
-          UU No. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau – pulau kecil
-          Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2012 Tentang Reklamasi Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil
-          Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 17/permen-kp/2013 tentang Perizinan Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil
-          peraturan perundang-undangan terkait lainnya yang berlaku saat itu.

  1. ANALISIS FAKTA

Berdasarakan fakta sejarah penguasaan lahan dan upaya perampasan hak oleh pemerintah provinsi Sulawesi selatan, maka dapat disimpulkan bahwa :
-          Warga setempat sudah menguasai tanah tersebut selama 37 tahun secara fisik dan 35 tahun secara fisik dilengkapi surat hak garap dari pejabat setempat
-          Telah terjadi upaya paksa baik secara terselubung maupun terang – terangan dalam melakukan perampasan hak – hak warga
-          Secara nyata, Pemerintah propinsi Sulawesi selatan telah memutus mata rantai sumber kehidupan warga sehingga, sama saja membunuh warga secara perlahan.
-          Pemerintah provinsi selawesi selatan telah melakukan penelantaran warganya sendiri

  1. ANALISIS YURIDIS
6.1.   TENTANG HAK MENGUASAI NEGARA ATAS TANAH, TERMASUK TANAH TIMBUL
Berkenaan dengan munculnya tanah timbul di daerah pesisir yang dikenal dengan istilah tanah tak bertuan (aanslibbing), sampai saat ini belum banyak peraturan – perundang – undangan yang mengatur secara eksplisit dalam bentuk tertulis, tetapi dapat disimpulkan dari ketentuan :

Dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 (sebelum Amandemen) dinyatakan bahwa :
Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat
Selanjutnya ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut di atas, dijabarkan lebih lanjut dalam beberapa ketentuan UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, antara lain : 
·         Pasal 2, yang menyatakan bahwa :
(1)   Atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat 3 Undang-Undang Dasar dan hal-hal sebagai yang dimaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat;
(2)   Hak menguasai dari Negara termaksud dalam ayat 1 pasal ini memberi wewenang untuk:
a.        mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa tersebut;
b.        menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa;
c.         menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
(3)   Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara tersebut pada ayat 2 pasal ini digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur;






·         Kemudian Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2), menyatakan bahwa :
(1)   Hubungan hukum antara orang, termasuk badan hukum, dengan bumi, air dan ruang angkasa serta wewenang-wewenang yang bersumber pada hubungan hukum itu akan diatur, agar tercapai tujuan yang disebut dalam Pasal 2 ayat 3 dan dicegah penguasaan atas kehidupan dan pekerjaan orang lain yang melampaui batas;
(2)   Perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan hukum golongan rakyat dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional diperhatikan, dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan golongan yang ekonomis lemah.
·         Lebih lanjut Pasal 13 ayat (1) dan ayat (2), mengatur bahwa :
(1). Pemerintah berusaha agar supaya usaha-usaha dalam lapangan agraria diatur sedemikian rupa, sehingga meninggikan produksi dan kemakmuran rakyat sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat 3 serta menjamin bagi setiap warga negara Indonesia derajat hidup yang sesuai dengan martabat manusia, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya;
(2). Pemerintah mencegah adanya usaha-usaha dalam lapangan agraria dari organisasi-organisasi dan perseorangan yang bersifat monopoli swasta;
·         Lalu Pasal 15, menyatakan bahwa :
Memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonomis lemah.

Secara explisit, tanah timbul diterangkan dalam pasal 12 PP No. 16 TAHUN 2004 tentang Penatagunaan Tanah, yang menyatakan :
“Tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi di wilayah perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai langsung oleh negara.”

Namun, dapat kita cermati dalam Putusan MK Nomor 3/PUU-VIII/2010 menjatuhkan putusan dalam perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. dimana cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara dalam artian diatur dan diselenggarakan oleh pihak-pihak yang diberi wewenang oleh Negara dan bertindak untuk dan atas nama negara berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Dalam tatanan peraturan dan perundangan yang berlaku di Indonesia pihak-pihak yang dapat bertindak untuk dan atas nama Negara adalah instansi-instansi pemerintahan dalam hal kegiatan yang berhubungan dengan pemerintahan dan politik, sedangkan dalam hal kegiatan usaha, instansi pemerintah yang bukan merupakan badan usahapun tidak dapat melakukan tindakan yang bersifat bisnis untuk dan atas nama negara sesuai peraturan dan perundangan yang berlaku.

Lebih lanjut dijelaskan dalam putusan MK, Penguasaan negara dalam Pasal 33 UUD 1945 menurut Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangan pengujian Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002. Pasal 33 UUD 1945 mengandung pengertian yang lebih tinggi daripada pemilikan dalam konsepsi hukum perdata. Konsepsi penguasaan Negara merupakan konsepsi hukum publik yang berkaitan dengan kedaulatan public.
Bahwa mengenai konsep Penguasaan Negara di dalam pertimbangan hukum putusan Mahkamah Konstitusi perkara Undang-Undang Minyak dan Gas,Undang-Undang Ketenagalistrikan, dan Undang-Undang Sumber Daya Alam, menafsirkan mengenai “Hak Menguasai Negara/HMN” bukan dalam makna negara memiliki, tetapi dalam pengertian bahwa negara merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelendaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheersdaad), dan melakukan pengawasan (toezichthoudendaad);
 Dengan demikian, makna penguasaan negara terhadap cabang-cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta terhadap sumber daya alam, meskipun tidak menafikan kemungkinan perorangan atau swasta berperan asalkan lima peranan negara/pemerintah sebagaimana disebut di atas masih tetap dipenuhi dan sepanjang pemerintah dan pemerintah daerah memang tidak atau belum mampu melaksanakannya;
Bahwa meskipun kelima peranan negara/pemerintah tersebut di atas telah terpenuhi, harus tetap diingat bahwa tujuan dari penguasaan negara adalah sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sehingga harus dapat dipastikan/dijamin bahwa lahirnya suatu undang-undang yang bersinggungan dengan kewajiban negara untuk mensejahterakan rakyat terkait dengan cabang-cabang produksi maupun sumber daya alam tidak menimbulkan kesalahan fatal di dalam pelaksanaannya.

6.2.Tentang hak kepemilikan atas tanah oleh masyarakat

Sesuai ketentuan pada pasal 28 H ayat (4) UUD 1945 setelah amandemen, yang menyatakan bahwa :
“Setiap  orang  berhak mempunyai  hak milik  pribadi  dan  hak milik  tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang wenang oleh siapa pun”

Sebagaimana telah dipaparkan dalam fakta sejarah tanah yang awalnya telah dikuasai dan digarap secara turun temurun oleh masyarakat/nelayan setempat di jalan delta tanjung mercisuar, kelurahan maccini sombala, kecamatan tamalate, kota Makassar. Sejak tahun 1977 warga yang pertama menghuni tanah tersebut dan tahun 1979 telah mendapat izin  dari pemerintah setempat untuk menggarap. Maka sehubungan dengan itu, penting terlebih dahulu menganalisis secara hukum kepemilikan tanah oleh masyarakat pesisir atas objek lahan tersebut.

Yang menarik dari fakta sejarah di atas adalah penyimpangan Negara baik dalam hal pemberian maupun pengakuan hak atas tanah yang sudah dikuasai secara fisik dan turun temurun oleh warga setempat. Dalam pemberian hak atas tanah yang menyimpang khususnya dalam proses pendaftaran tanah karena, seringkali tidak sesuai dengan fakta hukum. Dalam pendaftaran tanah terdapat 2 (dua) jenis cara dalam pembuktian hak, yaitu pemberian hak atas tanah dan konversi hak-hak lama. Dalam pemberian hak atas tanah yang menjadi objek pendaftaran tanah adalah tanah negara yang dimohonkan haknya. Dalam konversi terdapat tiga tingkatan pendaftaran, yang pertama adalah konversi hak-hak lama dengan alat bukti yang lengkap, yang dua adalah penegasan hak dengan alat bukti yang kurang lengkap dan yang ketiga adalah pengakuan hak untuk objek yang tidak memiliki alat bukti sama sekali.

Dari penjelasan diatas sudah dapat ditemukan dimana letak permasalahannya. Dimana  dalam menguasai tanah secara turun temurun seringkali pemilik tanah tidak mempunyai alat bukti sama sekali atau setidaknya hanya memiliki surat izin menggarap dari pejabat setempat, dengan demikian alternatif pendaftaran tanah yang dapat dipakai adalah pengakuan hak.

Dalam Hal ini, penentuan hak yang juga termasuk tanah timbul secara yuridis telah diperkuat oleh ketentuan pada pasal 24 ayat (2) PP No. 24 tahun 1997 ;
Dalam hal tidak atau tidak lagi tersedia secara lengkap alat-alat pembuktian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pembukuan hak dapat dilakukan berdasarkan kenyataan penguasaan fisik bidang tanah yang bersangkutan selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih secara berturut-turut oleh pemohon pendaftaran dan pendahulu pendahulunya, dengan syarat :
a. penguasaan tersebut dilakukan dengan itikad baik dan secara terbuka oleh yang   bersangkutan sebagai yang berhak atas tanah, serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya.
             b. penguasaan tersebut baik sebelum maupun selama pengumuman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat atau desa/kelurahan yang bersangkutan ataupun pihak lainnya.


6.3.Tentang
-          Surat izin lokasi reklamasi kawasan centre poin of Indonesia Nomor : 644/6272/Tarkim dan izin pelaksanaan reklamasi Nomor : 644/6273/Tarkim
-          Perjanjian kerjasama NOMOR :252/VIII/PEMPROV/2013 dan Nomor : 231/YBA/VII/2013 antara pemerintah provinsi Sulawesi selatan dengan PT. Yasmin Bumi Asri tentang reklamasi kawasan centre poin of Indonesia di Makassar

Reklamasi wilayah pesisir yang terus dilakukan pihak ketiga PT. Yasmin Bumi Asri di jalan losari metro Makassar depan rumah sakit siloam yang selama ini sangat bertentangan dengan asas kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat khususnya, masyarakat setempat selaku salah satu pihak pemangku kepentingan umum.
Dalam UU No.27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau – pulau kecil menyatakan ;

·         Pasal 1 angka (1) :
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
·         Pasal 1 angka (30) :
Pemangku Kepentingan Utama adalah para pengguna Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai kepentingan langsung dalam mengoptimalkan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, seperti nelayan tradisional, nelayan modern, pembudidaya ikan, pengusaha pariwisata, pengusaha perikanan, dan Masyarakat Pesisir
·         Pasal 4 huruf c dan d :
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilaksanakan dengan tujuan:
c. memperkuat peran serta masyarakat dan lembaga pemerintah serta mendorong inisiatif Masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar tercapai keadilan, keseimbangan, dan keberkelanjutan; dan
d. meningkatkan nilai sosial, ekonomi, dan budaya Masyarakat melalui peran serta Masyarakat dalam pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
·         Pasal 34
(1) Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dilakukan dalam rangka meningkatkan manfaat dan/atau nilai tambah Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil ditinjau dari aspek teknis, lingkungan, dan social ekonomi.
(2) Pelaksanaan Reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menjaga dan memperhatikan:
a.keberlanjutan kehidupan dan penghidupan Masyarakat;
b.keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil; serta

Lebih lanjut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 122 Tahun 2012 Tentang Reklamasi Di Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil :

·         Pasal 26
Pelaksanaan reklamasi wajib menjaga dan memperhatikan:
a. keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat;
b.keseimbangan antara kepentingan pemanfaatan dan kepentingan pelestarian fungsi lingkungan pesisir dan pulaupulau kecil; serta
c.persyaratan teknis pengambilan, pengerukan, dan penimbunan material.
·         Pasal 27
Keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 huruf a dilakukan dengan:
b. mempertahankan mata pencaharian penduduk sebagai nelayan, pembudidaya ikan, dan usaha kelautan dan perikanan lainnya;
c. memberikan kompensasi/ganti kerugian kepada masyarakat sekitar yang terkena dampak reklamasi;
d. merelokasi permukiman bagi masyarakat yang berada pada lokasi reklamasi; dan/atau
e.  memberdayakan masyarakat sekitar yang terkena dampak reklamasi.

kemudian lebih spesifik dijelaskan dalam peraturan menteri kelautan dan perikanan republik indonesia nomor 17/permen-kp/2013 tentang perizinan reklamasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
·         Pasal 32
(1) Pemegang izin pelaksanaan reklamasi mengupayakan untuk mempertahankan mata pencaharian penduduk sebagai nelayan, pembudidaya ikan, dan usaha kelautan dan perikanan lainnya.
(2) Mata pencaharian penduduk sebagai nelayan diupayakan melalui penyediaan:
a. sarana dan prasarana penangkapan ikan; dan/atau
b. mata pencaharian alternatif yang berkelanjutan.
(3) Mata pencaharian penduduk sebagai pembudidaya ikan diupayakan melalui penyediaan:
a. lokasi dan prasarana untuk budidaya ikan; dan/atau
b. mata pencaharian alternatif yang berkelanjutan.
(4) Mata pencaharian penduduk untuk usaha kelautan dan perikanan lainnya diupayakan melalui penyediaan:
a. sarana dan prasarana usaha kelautan dan perikanan lainnya; dan/atau
b. mata pencaharian alternatif yang berkelanjutan.

·         Pasal 33 Kompensasi dan anti kerugian
(1) Pemegang izin pelaksanaan reklamasi wajib memberikan kompensasi bagi masyarakat yang terkena dampak kegiatan reklamasi.
(2)   Kompensasi diberikan dalam bentuk:
a. ganti kerugian dalam bentuk uang tunai; dan/atau
 (3)  Ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a diberikan kepada masyarakat yang kehilangan:
a. tanah dan bangunan dan tidak bersedia untuk direlokasi; dan/atau
b. mata pencaharian selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) yang berada di lokasi reklamasi.
·         Pasal 34 relokasi dan permukiman
(1) Pemegang izin pelaksanaan reklamasi wajib melakukan relokasi permukiman bagi masyarakat yang terkena dampak kegiatan reklamasi.
(2) Relokasi permukiman bagi masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penyediaan permukiman pengganti yang layak dan dilengkapi dengan sarana dan prasarana.
(3) Pelaksanaan relokasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan mengacu pada kerangka kebijakan permukiman kembali yang disusun oleh Pemerintah/pemerintah daerah.
·         Pasal 36 tata cara pelaksanaan keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat
(1) Pelaksanaan keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat dilaksanakan dengan cara:
a. sosialisasi rencana pelaksanaan keberlanjutan kehidupan dan penghidupan masyarakat;
b.  pendataan masyarakat yang terkena dampak reklamasi;
c.  penentuan cara mempertahankan mata pencaharian;
d.  penentuan jenis mata pencaharian alternatif;
e.  penentuan nilai kompensasi;
f.   penentuan relokasi permukiman; dan
g.  penentuan cara pemberdayaan masyarakat.

Dengan demikian, meskipun peraturan perundang – undangan yang ada tidak menafikan kemungkinan perorangan atau swasta berperan asalkan semua mekanisme dan prosedur sebagaimana disebut di atas masih tetap dipenuhi dan sepanjang pemerintah dan pemerintah daerah memang tidak atau belum mampu melaksanakannya
Dan  harus tetap diingat bahwa tujuan dari semua itu adalah sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sehingga harus dapat dipastikan/dijamin bahwa semua upaya pemerintah maupun pemerintah daerah provinsi selawesi selatan tidak bersinggungan dengan kewajiban negara untuk mensejahterakan rakyat dan tidak menimbulkan pelanggaran HAK ASASI MANUSIA DALAM PELAKSANAANNYA.

6.4.Perencanaan, Pelaksanaan reklamasi dan Pelanggaran terhadap hak ekonomi social dan budaya

Upaya relamasi dan penggusuran sewenang - wenang yang mengakibatkan hilangnya tempat tinggal, mata pencaharian warga setempat untuk mempertahankan hidup di  kawasan pesisir untuk pembangunan centre poin of Indonesia, juga sangat dikutuk oleh UU No. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia :

·         Pasal 9
(1)Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf hidup
(2)Setiap orang berhak tentram, aman, damai, bahagia, sejahtera lahir dan batin

·         Pasal pasal 36
(1)      Setiap orang berhak mempunyai milik, baik sendiri maupun bersama – sama dengan orang lain demi pengembangan dirinya, keluarga, bangsa dan masyarakat dengan cara yang tidak melanggar hukum
(2)      Tidak seorangpun boleh dirampas miliknya dengan sewenang – wenang dan secara melawan hukum
·         Pasal 34
Setiap orang berhak untuk bertempat tinggal secara berkehidupan yang layak

Disisi lain, tindakan sewenang – wenang pemerintah provinsi Sulawesi selatan, juga telah mengabaikan UU No. 11 tahun 2005 tentang  KOVENAN INTERNASIONAL HAK-HAK EKONOMI, SOSIAL DAN BUDAYA :

·         Pasal 1
(3)   Semua bangsa dapat, demi kepentingan mereka sendiri, secara bebas mengelola kekayaan dan sumber daya alam mereka tanpa mengurangi kewajiban-kewajiban yang mungkin timbul dari kerjasama ekonomi internasional berdasarkan prinsip saling menguntungkan dan hukum internasional. Dalam hal apapun tidak dibenarkan suatu bangsa dirampas sumber-sumber hajat hidupnya.

  1. Kesimpulan

Berdasarkan analisis Fakta dan Analisis Hukum tersebut di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penggusuran yang dilakukan oleh pemerintah provinsi sulawesi selatan terhadap warga ± 43 KK yang secara turun temurun telah menguasai lahan selama 37 tahun serta proses reklamasi wilayah pesisir yang dijalankan oleh PT. Yasmin bumi asri, telah mengabaikan asas – asas kemanusiaan dalam UUD 1945 dan melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. oleh karenanya, pemerintah provinssi sulawesi selatan wajib bertanggungjawab atas semua ini
  1. Rekomendasi